Kenapa Banyak Usaha Gagal Skalasi Karena Workflow Tambal Sulam
Kategori
efisiensi operasional
Tanggal Upload
Author
Loren Alvin

Skalasi usaha sering diasosiasikan dengan ekspansi besar-besaran, rekrutmen tim baru, atau penambahan layanan. Tapi kalau pondasinya masih lemah, langkah sebesar apa pun bisa goyah. Kami sering menjumpai usaha yang semula berjalan stabil justru tersendat saat ingin naik level. Salah satu akar masalahnya adalah workflow yang tambal sulam—ibarat dapur restoran yang ramai, tapi alur masaknya berantakan. Akhirnya, bukannya tambah cepat, segala proses jadi memakan waktu dan energi lebih besar.
Workflow yang Tambal Sulam Seperti Pipa Bocor di Lantai Produksi
Workflow itu seperti pipa distribusi air di pabrik. Kalau instalasinya tambal sulam—satu sambungan pakai solasi, lainnya sambungkan batang bekas—lama-lama akan bocor juga. Dalam konteks operasional, workflow tambal sulam maksudnya proses kerja yang dibentuk spontan, reaktif, dan tidak terstruktur. Misalnya, satu divisi pakai spreadsheet manual, sementara satunya lagi mengandalkan chat grup untuk brief harian. Awalnya fleksibel, tapi saat volume kerja meningkat, kebingungan eskalasi dan duplikasi tugas muncul.
Tanpa Workflow yang Rapi, Efisiensi Jadi Kegagalan Berulang
Bayangkan tim logistik Anda harus cek stok harian lewat pesan WhatsApp, catat manual di papan tulis, lalu update ke spreadsheet setiap malam. Kalau sehari ada 20 transaksi masuk, bisa-bisa informasi tertinggal atau salah input. Workflow seperti ini mungkin cukup saat bisnis masih mini, tapi saat bisnis mulai berkembang, inefisiensi operasional jadi snowball. Lama-lama, biaya membengkak, produktivitas turun, dan keputusan bisnis kehilangan presisi. Skalasi pun jadi seperti lari maraton pakai sandal jepit—sulit maju cepat, sering tergelincir.
Integrasi dan Automasi: Tangga Darurat Menuju Efisiensi
Ada kalanya Anda tak perlu langsung mengubah seluruh sistem agar workflow jadi tertata. Langkah kecil seperti mengintegrasikan tools yang sudah ada bisa membuat operasional lebih mulus. Misalnya, integrasi sistem keuangan dengan laporan inventori bisa meringankan beban input ganda. Automasi untuk approval cuti atau reimbursement juga mengurangi antrean dokumen. Seperti mengganti jalan tanah dengan aspal, proses jadi lebih licin dan cepat dilalui. Tanpa memaksa reorganisasi besar-besaran, perbaikan kecil ini bisa jadi awal struktur workflow yang solid.
Leadership Perlu Turun ke Lapangan, Bukan Hanya Review Report
Sering kali, manajemen mengira semuanya berjalan baik karena laporan mingguan rapi. Tapi realitanya, di level eksekusi, staf harus bolak-balik konfirmasi, menghadap eskalasi yang tak jelas, dan menunggu approval lama hanya untuk tugas sederhana. Maka penting bagi leadership untuk melihat sendiri cara kerja tim di lapangan. Observasi aktif membuka mata bahwa banyak proses terlihat efisien dari atas, tapi ternyata berbelit dari dalam. Dari sanalah kita bisa mulai mendesain ulang workflow yang memang dibutuhkan, bukan yang hanya tampil keren dalam dashboard.
Membangun workflow yang efisien bukan soal mengikuti tren teknologi terbaru, tapi memahami ritme kerja tim dan tantangan sehari-hari mereka. Dengan alur kerja yang rapi, setiap bagian usaha saling tersambung seperti rangkaian kereta—bergerak bersama, tidak saling mendahului. Saat workflow jadi fondasi yang kuat, skalasi bukan lagi mimpi, tapi konsekuensi logis dari operasional yang sehat.