7 mins read

Produk IT atau Sistem Perusahaan Itu Mahal, Jangan Asal Buat atau Sewa

Tanggal Upload
Diperbaharui
Author
Produk IT atau Sistem Perusahaan Itu Mahal, Jangan Asal Buat atau Sewa
Banyak bisnis pikir bikin sistem itu langkah maju. Padahal, tanpa tahu tujuan dan tidak hitung nilai baliknya, itu justru bisa jadi beban paling mahal.

Ketika Semua Perusahaan Hingga UMKM Mulai Buru-Buru “Punya Sistem”

Pernah gak sih Anda lihat perusahaan yang tiba-tiba panik begitu dengar kompetitornya pakai sistem baru? Mereka langsung meeting darurat, browsing vendor, dan dalam hitungan hari sudah tanda tangan kontrak. Kelihatannya keren, cepat ambil tindakan, terlihat adaptif. Tapi satu hal penting sering terlupa: tujuannya apa?

Sebuah sistem tidak akan menyelesaikan masalah kalau dari awal bisnis belum tahu arah yang ingin dicapai. Bahkan, sistem sering menambah beban baru: lebih banyak data, lebih banyak menu, tapi tidak ada perubahan nyata. Masalahnya bukan di teknologinya, tapi di pola pikir sebelum keputusan dibuat.

Kalau dipikir-pikir, banyak bisnis hanya ingin terlihat “digital,” padahal secara internal masih bekerja dengan cara lama. Akhirnya sistem hanya jadi simbol, bukan solusi.

Contoh Nyata: Sistem Sudah Ada, Tapi Tidak Ada Dampak

Saya pernah lihat perusahaan retail dengan 20 cabang yang memutuskan untuk menyewa sistem ERP karena kompetitornya baru saja migrasi ke sistem serupa. Biayanya tidak kecil — hampir 300 juta per tahun. Enam bulan pertama berjalan lancar, vendor rajin memberi pelatihan dan update. Tapi setelah itu? Semua kembali ke Excel.

Tim keuangan masih menyusun laporan manual karena “lebih cepat,” staf gudang tetap pakai WhatsApp untuk stok, dan manajer cabang mengeluh karena sistemnya lambat. Ketika direksi meninjau hasilnya, mereka sadar: uang keluar, tapi hasil tidak terasa.

Bukan karena sistemnya buruk, tapi karena tidak pernah ada perhitungan ROI sejak awal. Tidak pernah ada evaluasi: bagian mana dari bisnis yang benar-benar akan dihemat waktunya, siapa yang akan menggunakan, dan bagaimana hasilnya diukur.

Kalau dipikir lagi, ini bukan kasus langka. Banyak perusahaan jasa juga begitu — dari laundry sampai konsultan. Semangat beli sistem tinggi, tapi kesadaran akan kesiapan organisasi rendah. Sistem akhirnya disalahkan, padahal yang salah arah adalah keputusan awalnya.

Pola yang Selalu Sama: Takut Ketinggalan, Bukan Butuh Sungguhan

Kalau Anda perhatikan, polanya hampir selalu sama. Keputusan IT sering lahir bukan dari kebutuhan nyata, tapi dari rasa takut ketinggalan. Takut terlihat kuno. Takut dikira tidak visioner.

Masalahnya, sistem bukan alat pamer. Ia hanya memperbesar apa yang sudah ada. Kalau workflow dasarnya masih semrawut, sistem hanya akan mempercepat kekacauan. Kalau komunikasi tim masih tidak jelas, sistem hanya akan memperbanyak notifikasi tanpa arah.

Coba tanya diri sendiri: apakah Anda benar-benar butuh sistem baru, atau Anda hanya ingin terlihat modern di depan klien dan investor?

Digitalisasi bukan soal tren. Ia adalah konsekuensi dari kematangan cara berpikir.

Jangan Lihat dari Harga, Lihat dari Nilai yang Kembali

Kita sering menganggap sistem itu mahal karena melihat angka di invoice-nya. “500 juta? Wah, kebangetan.” Tapi kalau dihitung dengan benar, yang mahal bukan produknya — yang mahal adalah keputusan yang tidak menghasilkan apa-apa.

Bayangkan sistem seperti karyawan level tinggi. Anda tidak menilai dia dari gajinya saja, tapi dari kontribusinya terhadap hasil. Kalau ia bantu menghemat 200 jam kerja tim setiap bulan, mempercepat closing, atau mengurangi error operasional, maka investasinya sepadan.

Sebaliknya, kalau sistem hanya jadi formalitas, bahkan 50 juta pun terasa rugi.

Masalahnya, banyak bisnis masih menilai teknologi seperti membeli perabot kantor — dilihat dari bentuk dan fitur, bukan dari hasil yang dikembalikannya. Padahal seharusnya, setiap sistem punya rumus ROI yang bisa dihitung: berapa jam kerja dihemat, berapa biaya operasional turun, dan berapa kali produktivitas meningkat.

Ketika mindset ini bergeser, cara mengambil keputusan ikut berubah. Fokusnya bukan lagi “berapa harganya,” tapi “berapa nilainya kembali.”

Analogi Sederhana: Sewa Mobil vs Punya Arah

Bayangkan Anda menyewa mobil mewah tanpa tahu mau ke mana. Awalnya seru, mesinnya halus, interiornya elegan. Tapi setelah beberapa jam, bensin habis, dan Anda sadar belum bergerak jauh.

Begitulah banyak bisnis memperlakukan sistem. Mereka membeli atau menyewa sistem mahal tanpa tahu arah yang ingin dituju. Vendor datang menawarkan demo, semua terlihat sempurna, tapi begitu implementasi dimulai, kebingungan muncul: siapa yang akan pakai, proses mana yang berubah, dan siapa yang bertanggung jawab atas hasilnya?

Sebaliknya, bisnis yang tahu tujuannya bisa melangkah lebih efisien bahkan dengan alat sederhana. Mereka mungkin hanya pakai Google Sheets atau form sederhana, tapi karena jelas apa yang ingin dicapai, hasilnya nyata.

Teknologi hanyalah kendaraan. Yang membuatnya berguna adalah peta yang Anda punya.

Cermin Kematangan Bisnis, Bukan Sekadar Digitalisasi

Sistem tidak pernah menjadi bukti bahwa bisnis Anda maju, ia hanyalah cermin. Dan cermin itu akan menampilkan kondisi asli organisasi Anda.

Kalau SOP belum ditegakkan, disiplin tim masih lemah, dan setiap keputusan tergantung satu orang, maka sistem secanggih apa pun akan ikut kacau. Tapi kalau fondasi internal sudah matang, bahkan alat sederhana bisa terasa powerful.

Pernah lihat perusahaan kecil tapi proses kerjanya rapi? Semua data tersusun, laporan mudah diakses, komunikasi lancar. Itu bukan karena mereka pakai software mahal, tapi karena mereka punya kebiasaan kerja yang jelas.

Digitalisasi hanya memperbesar apa yang sudah ada. Kalau bisnis Anda sudah disiplin, teknologi akan mempercepat. Kalau belum, teknologi justru memperumit.

Jadi, sebelum bicara sistem, pastikan budaya kerja dan struktur sudah siap dulu.

Jalan yang Sebenarnya: ROI Dulu, Sistem Belakangan

Pertanyaan paling bijak sebelum membuat atau menyewa sistem bukan “berapa biayanya?” tapi “apa yang akan saya dapat kembali?". ROI (Return on Investment) adalah cara berpikir yang sederhana tapi jarang digunakan di dunia teknologi. Padahal, ia adalah kunci agar keputusan IT tidak berubah jadi penyesalan.

Coba hitung dengan jujur:

  • Berapa jam kerja tim bisa dihemat?

  • Berapa biaya human error yang bisa dihindari?

  • Berapa banyak laporan atau analisis yang kini bisa dilakukan lebih cepat?

Kalau jawabannya tidak jelas, berarti sistem itu belum layak. Sistem yang baik selalu bisa diukur manfaatnya. Ia tidak perlu terlihat canggih, tapi hasilnya harus bisa dirasakan. Kadang solusi terbaik bukan yang paling baru, tapi yang paling cocok dengan cara kerja tim Anda hari ini. Dan itulah kenapa ROI selalu harus datang sebelum sistem. Bukan sebaliknya.

Penutup: Jadi Bisnis yang Tahu Kapan Teknologi Benar-Benar Layak

Teknologi bukan tujuan. Ia hanyalah alat bantu untuk bisnis yang tahu apa yang ingin dicapai. Tidak semua bisnis perlu langsung digital. Tidak semua harus punya sistem besar. Tapi setiap bisnis wajib tahu kapan teknologi benar-benar layak, yaitu ketika ia membawa nilai balik yang bisa dihitung, bukan sekadar prestise. Pada akhirnya, bisnis yang paling diuntungkan dari teknologi bukan yang paling cepat beradaptasi, tapi yang paling sadar diri. Karena dalam dunia bisnis, keputusan yang mahal bukan soal angka, tapi soal arah.

Consultation with Exclolab

References

About Author

Lorencius A. Purnama

Lorencius A. Purnama

Managing Director

Managing Director @ExcloLab | Execution Strategist for Service Businesses | Business Systems & Process Consultant | Helping Founders Scale by Fixing Bottlenecks, Streamlining Ops & Building Systems That Work
See More
exclolab services